Selasa, 27 Mei 2008

KEWAJIBAN DALAM KEBENARAN (KAJIAN AHAD, 25 MEI 2008)

Petunjuk Al Qur-an

Bahwa sesungguhnya Allah SWT telah memberikan pembeda antara orang yang menerima Nur Islam dengan orang yang keras hati menolak kebenaran Islam (QS Az Zumar, 39 : 22). Maka bagi hamba yang telah menerima Islam dituntut berkewajiban untuk memperkenalkan dan menegakkan kebenaran Islam, sebagaimana tersebut dalam Surah Al Kahfi, 18 : 29, yang artinya sebagai berikut :

”Dan katakanlah, ”Kebenaran itu dari Robb kamu, maka siapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan siapa menghendaki (kafir) biarkanlah ia kafir, sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang dlolim itu neraka, yang meliput kepada gejolak asapnya, dan jika mereka itu meminta minum, akan diberi minum, akan diberi minum dengan air seperti logam yang terlebur yang siap menghanguskan wajah-wajah, (itulah) sejahat-jahat minuman dan sejahat-jahat tempat peristirahatan.”

Pengertian pokok dari ayat tersebut di atas adalah :

1. Bagi yang telah menerima hidayah Islam dituntut untuk menjalani, menyampaikan dan mendakwahkan Islam, karena kebenaran Islam itu adalah hak atas umat manusia (QS Yusus, 12 : 108);

2. Neraka jahanam ditetapkan-Nya bagi segala bentuk perbuatan dholim, yaitu yang menolak Kebenaran dan hati serta panca inderanya telah tertutup rapat, sehingga tidak akan bisa menerima petunjuk, walaupun melalui berbagai upaya manusia (QS Al Kahfi, 18 : 57).

Dengan yang tersebut maka bagi hamba yang tahu arti kebenaran Islam dituntut keteguhan hatinya, dan kesiagaan serta kepasrahannya dalam menegakkan Kalimatullah (QS Ali Imran, 3 : 200).

Pembahasan

Dalam menepati kewajiban sebagai Muslim, yang menjadi dasar utama adalah faktor motivasi (QS Az Zumar, 39 : 11 - 12), kemudian melakukan pemahaman melalui aktivitas majelis ilmu (QS Az Zumar, 39 : 18) dan proses tadabbur (QS An Nisa’, 4 : 82). Maka dengan begitu akan dapat penghayatan terhadap :

1. Keberadaan Al Qur-an sebagai sumber (QS Ali Imran, 3 : 138) dan bekalan yang sempurna (QS Al Anbiya’, 21 : 106);

2. Keberadaan Rasulullah sebagai sosok penentu dalam membangun strategi (QS Al Hujurat, 49 : 7);

3. Kepastian tentang Islam sebagai petunjuk sistem dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan menciptakan perdamaian umat manusia sedunia (QS Al Hujurat, 49 : 13), karena pada dasarnya umat manusia itu adalah umat yang satu (QS Al Baqarah, 2 : 213), sedangkan syaithon adalah pengganggu kemanusiaan (QS An Nahl, 16 : 63);

Dengan berpangkal dari penghayatan yang disebut di atas, maka dapat dipahami bahwa Allah SWT menetapkan beberapa kewajiban terhadap Muslim, yaitu antara lain :

1. Kewajiban mendakwahkan kebenaran dengan cara tegas, jelas dan lugas, yang dilandasi dengan kepribadian yang utuh, cerdas, cakap, cepat dan tepat (hikmah) dalam menjawab berbagai permasalahan umat atas dasar Al Qur-an dan Al Hadits Shahih (QS An Nahl, 16 : 125). Kemudian sanggup mengatakan yang haq walaupun pahit didengar (HR Al Baihaqi dari Abi Hurairah, dan ditakhrijkan oleh Imam At Turmudzi dalam Syarikhnya);

2. Kewajiban menegakkan keadilan/kejujuran sebagai dasar kemanusiaan, sehingga dapat dipahami, dihayati, dan dilaksanakan di segala lapisan (QS An Nisa’, 4 : 135);

3. Kewajiban menyosialisasikan Al Qur-an dalam kalangan umat Islam, karena dengan begitu akan mengembalikan fitrah Mukmin (QS Al Qoshosh, 28 : 85), menyatukan hati (QS Al Hujrat, 49 : 10), sehingga tidak akan mudah terpengaruh oleh berbagai bujuk rayu kaum Munafiq (QS Ali Imran, 3 : 118 - 120), dan berbagai jebakan imperialis dari Ahli Kitab (QS Al Baqarah, 2 : 204 - 206);

4. Kewajinan melaksanakan infaq (QS Al Baqarah, 2 : 261), dan menyerahkan keberadaan dirinya dalam kepentingan tegaknya Kalimatullah (QS At Taghobun, 64 : 17 - 18).

Kesemuanya yang disebutkan di atas merupakan kewajiban setiap Muslim, dan hanya orang yang dholim akan senantiasa ragu dan bimbang, sehingga mereka disebut ”Kaum ambivalens” (QS An Nisa’, 4 : 91).

Mubarki

Gbcm.0908011

Minggu, 04 Mei 2008

HAMBATAN PSIKOLOGIS (KAJIAN AHAD, 04 MEI 2008)

Petunjuk Al Qur-an

Masalah manusia adalah sangat unik, karena sebuah kenyataan yang dapat dirasakan dengan jelas tentang keberadaan orang-orang yang telah memperoleh hidayah Islam, tidak semuanya dapat mampu untuk menerima kebenaran dari Allah SWT. Sebagai bukti dapat dipelajari dari petunjuk firman di dalam Surah Al Maidah, 5 : 66, yang artinya sebagai berikut :

”Dan (ketahuilah) kalau bahwa mereka mau menegakkan hukum Taurat dan Injil dan segala apa yang diturunkan kepada mereka dari Robb mereka (yaitu Al Qur-an), niscaya mereka memperoleh jaminan mewah dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka (dengan hasil sumber daya alam yang memadai). (Tetapi dalam kenyataannya) dari antara mereka tergolong muqtasidah, dan kebanyakan dari antara mereka sungguh jahat segala apa yang mereka sama kerjakan.”

Secara pokok ayat tersebut memberikan pengertian dan gambaran, bahwa :

1. Kemutlakan Al Qur-an bagi keberlakuannya (QS Al Baqarah, 2 : 106), dengan begitu dituntut dalam perkara sosialisasi (QS Al Qoshosh, 28 : 85), melalui proses tadabbaur (QS An Nisa’, 4 : 82). Karena keberlakuan Al Qur-an adalah jaminan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi kehidupan masyarakat umat sedunia. Akan tetapi dalam hal ini memerlukan kesiapan dan keberanian untuk menyampaikan kebenaran Al Qur-an, karena sadar bahwa hal itu adalah menyangkut hak atas umat manusia (QS Yusuf, 12 : 108);

2. Pada kenyataannya di dalam menanggapi kebenaran Al Qur-an tersebut kebanyakan tidak yakin, karena yang digunakan untuk menelaah kebenaran itu hanyalah kemampuan daya pikir yang hanya mampu sebatas masalah-masalah eksak (QS Ar Rum, 30 : 7), sehingga berakibat munculnya berbagai kendala kejiawaan. Maka mereka sering memanfaatkannya oleh Kafirin dan Musyrikin untuk beralibi; Inilah yang disebut mengalami kendala psikologis sebagimana yang difirmankan di dalam Surah Al Furqon, 25 : 30, yang artinya sebagai berikut :

”Dan berkata Rasul, ”Ya Robb, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur-an ini sebagai sesuatu yang terabaikan; Demikian itulah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu sebagai musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah dengan Robb kamu sebagai pemimpin dan penolong.”

Pembahasan

Bahwa sesungguhnya Al Qur-an adalah Norma Hukum atas umat manusia (QS Al Jatsiyah, 45 : 20), sehingga kehidupan umat manusia tidak perlu berhadapan dengan kekuatan alam yang dahsyat, bahkan sebaliknya akan mendapatkan berbagai jaminan, karena semesta alam sendiri telah menyatakan sumpah setianya kepada Allah SWT pada masa awal kejadiannya (QS Fushilat, 41 : 11 - 12), sehingga planet bumi ini berfungsi sebagai ”dapur alam semesta” untuk melayani umat manusia yang hidup matinya bertumpu di bumi ini saja (QS Al A’raf, 7 : 25).

Itulah sebuah kenyataan yang pasti, bahwa Al Qur-an ini menjelaskan segala permasalahan (QS An Nahl, 16 : 89) dan bahkan tiada satu permasalahan pun yang ditinggalkan-Nya (QS Al An’am, 6 : 38). Walaupun demikian jelas dan gamblang, hanya hamba-hamba pilihan yang mempunyai getaran hidayah, yang dapat memunculkan rasa kepasrahan (QS Az Zumar, 39 : 23).

Sebagaimana dimaksudkan pada dalil panduan, pada sisi lain sebagian besar lebih menyenangi dan dan menempatkan diri dalam posisi ”muqtasidah” (ragu dan cermat atau ambivalens) (QS An Nisa’, : 91) dan ”humanisme sekuler” (QS An Nahl, 16 : 107). Maka dapat terjadi berbagai kendala psikologis, antara lain :

1. Dapat terjadi selisih pendapat yang berhujung kepada perpecahan, sehingga dengan itu dapat terjadi ”proses distorsi”, yaitu kelumpuhan yang terus-menerus dan menyulitkan bagi pengobatannya. Sedangkan Allah SWT telah memberikan peringatan di dalam Surah Al Anfal, 8 : 46, yang artinya sebagai berikut :

”Dan taatlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu saling berbantahan maka kamu akan menjadi lemah dan hilanglah semangat kamu. Dan sabarlah, sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.”

2. Dapat terjadi ”sikap statis konservatif obskurantis”, yaitu semangat buta yang sarat oleh tradisi tanpa memperoleh pengembangan. Mereka beranggapan bahwa Al Qur-an adalah Kitab Suci, sehingga keadaan mereka seperti golongan Yahudi yang diibaratkan sebagai kuda khimar menggendong Kitab, mereka merasa paling terkasih dalam pandangan Allah SWT (QS Al Jumu’ah, 62 : 5 - 6) padahal sebaliknya, bahwa keadaan mereka telah menjadi manusia-manusia terkutuk melalui lidah Nabi Daud dan Nabi Isa (QS Al Maidah, 5 : 78). Mereka dalam Al Qur-an ditegaskan dengan diibaratkan sebagai anjing yang hanya bisa menggendong sambil menjulurkan lidah, sebagai gambaran orang yang tidak mau ditingkatkan dan diangkat derajatnya oleh Al Qur-an (QS Al A’raf, 7 : 176);

3. Dapat mengidap penyakit ”libasul khauf” yang membuat orang menjadi latah terhadap situasi yang sedang berkembang di masyarakat (disebut juga ”hipersugestiibilitas”) (QS Al An’am, 116)

Keadaan di atas dapat menjadi kendala bagi orang-orang yang sedang dan senantiasa berupaya menepati perjalanan perintah Islam menuju janji Allah SWT. Oleh karena itu, bagi hati yang telah diperlihatkan Allah, yaitu cahaya Daulah Islam yang mendunia, pribadinya senantiasa dituntut keteguhan dalam hal motivasi, kesiagaan secara maaliah dan nafsiah, yang semua itu melalui langkah-langkah yang dibenarkan oleh Al Qur-an dan Al Hadits Shahih

Mubarki

Gbcm.0908010

Kamis, 01 Mei 2008

KEPEDULIAN (KAJIAN AHAD, 27 APRIL 2008)

Petunjuk Al Qur-an

Sebagaimana telah dipahami, bahwa sikap peduli adalah prinsip bagi setiap muslim yang paham tentang Ad Din, karena memang Allah SWT telah menetapkan derajat mukmin itu sebagai “Koiru Ummah” (QS Ali Imran, 3 : 110), yang ditetapkan Allah SWT sebagai “Umat Pilihan-Nya” (QS Al Hajj, 22 : 78). Maka Allah SWT telah menetapkan melalui firman-Nya dalam Surah At Taubah, 9 : 128, yang artinya sebagai berikut :

”Sungguh pasti telah datang kepada kamu sekalian seorang Rasul yang mempunyai rasa berat atasnya, melihat apa yang kamu rasakan tentang kesulitan, dia sangat berkeinginan keselamatan atas kamu, dengan orang-orang mukmin dia itu penyantun lagi penyayang; Maka jika berpaling, maka katakanlah, “Aku berserah diri kepada Allah, tiada sesembahan melainkan Dia. Kepada-Nya aka bertawakal, dan Dia itu Maha Pengatur ‘Arsy yang agung.”

Analisis Ringkas

Berdasarkan kaidah ilmu Tafsir, ayat di atas memberikan pengertian, antara lain :

1. Pada perkataan ”Rasul-lun” adalah menunjukkan sebagai ”isim naqirah” (bersifat umum), yang berarti antara lain :

a. Bahwa keberadaan tiap umat telah Allah turunkan seorang Rasul, sebab itu Allah SWT menetapkan sebagai ”li yutho-’a bi’idznillah” (untuk ditaati dengan izin Allah) (QS An Nisa’, 4 : 64);

b. Dengan berakhirnya utusan Allah atas umat manusia melalui pernyataan-Nya, bahwa Muhammad sebagai ”penutup dari para Nabi” (QS Al Ahzab, 33 : 40), maka berarti mengandung tuntutan bagi setiap mukmin untuk mencari kebenaran melalui proses tadabbur Al Qur-an (QS Muhammad, 47 : 24), maka dengan begitu Allah SWT akan memberikan nur Islam dalam hatinya (QS Az Zumar, 39 : 22);

c. Kebenaran itu adalah hak atas umat manusia, maka dengan begitu ada tuntutan untuk mengikuti jejak Rasulullah saw dalam penyampaian kebenaran, dengan cara yang jelas, terang dan lugas berdasarkan hujjah (QS Yunus, 12 : 108);

2. Selanjutnya adalah penguasaan dalam bidang ”manajemen Al Qur-an”, sehingga dengan begitu akan dapat berkonsentrasi secara baik dan benar, dengan langkah yang terprogram, terarah dan terawasai menuju sasaran yang ditetapkan Allah SWT (QS Al Furqon, 25 : 52);

3. Pada ayat selanjutnya, adalah menggunakan lafadz yng menunjukkan adanya persyaratan psikologis, dengan lafadz ”in syarthiyah”, yaitu faktor kepasrahan diri dan bukan memaksakan kehendak, sesuai dengan ketetapan Allah tentang keberadaan Rasul-Nya (QS An Nur, 24 : 54).

Pembahasan

Dengan analisis di atas, maka petunjuk Allah tersebut memberikan gambaran yang jelas, bahwa dalam upaya membentuk rasa kepedulian, maka yang paling utama adalah mengikuti sifat-sifat Rasul saw (QS Ali Imran, 3 : 31). Oleh karena itu, yang harus menjadi perhatian antara lain :

1. Faktor Niat

Niat harus dilandasi oleh rasa terpanggil (QS Az Zumar, 39 : 11 - 12), yang akan membangun hubungan antarmuslim yang penuh mawaddah fil qurba (cinta kasih dalam rasa kekeluargaan) (QS Asy Syura, 42 : 23);

2. Faktor Intiqod

Dengan intiqod (mawas diri) maka akan dapat mengetahui terhadap proses dan tahapan yang akan dilaksanakan dalam kepentingan Ad Din (QS Al Hasyr, 59 : 18);

3. Faktor Maaliyah dan Nafsiyah

Dimaksudkan adalah kesadaran dalam mengutamakan membelanjakan hartanya dan memacu aktivitas diri untuk membangun sarana bagi kepentingan Dinullah (QS At Taghobun, 64 : 17);

Dengan perbekalan tersebut, berarti akan dapat membantu rasa kepedulian dalam hal keumatan untuk memperoleh kemuliaan dari Allah SWT.

Mubarki

Gbcm.090809

PERSIAPAN SEBELUM AJAL (KAJIAN AHAD, 20 APRIL 2008)

Petunjuk Al Qur-an

Sebagai seorang yang telah menerima Islam (QS Az Zumar, 39 : 22) seharusnya telah memahami petunjuk dan langkah-langkah yang harus dihayati serta diamalkan, sebagaimana difirmankan Allah SWT di dalam Surah Ar Rum, 3 : 43 - 44, yang artinya sebagai berikut :

”Maka hadapkanlah wajahmu kepada Ad Din yang lurus sebelum datang dari Allah suatu hari tiada dapat menolak baginya, (sedangkan) pada hari itu mereka akan terpisah-pisah;

“Barangsiapa kafir maka atas dirinyalah kekafiran itu, dan barangsiapa beramal shalih, maka untuk diri mereka sendiri, (maka berarti) mereka menyiapkan (tempat kebehagiaan yang dijanjikan Allah).”

Analisis Ringkas

Ayat-ayat di atas memberikan pengertian, antara lain :

1. Dalam kehidupan dunia yang fana ini, sebagai hamba Allah SWT yang telah menerima nur Islam, dituntut di dalam pelaksanaannya secara ikhlash dan penuh kecenderungan terhadap segala aturan-Nya (QS Al Bayyinah, 98 : 5), sehingga dapat dan mampu memotivasi diri dalam pelaksanaan selanjutnya, yaitu sebagai muslim yang berkualitas (QS Az Zumar, 39 : 11 - 13);

2. Dalam diri pribadi dituntut ketaatan agar tidak terjerumus ke dalam tipu daya gemerlapan duniawiah dan tipudaya dari pengaruh manusia yang tidak bertanggung-jawab, yang dalam istilah sekarang disebut dengan kaum humanisme sekuler (QS Luqman, 31 : 33);

3. Pada hari pertemuan dengan Allah SWT, masing-masing pribadi akan bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri, dan tidak mungkin akan memikulkan beban dosanya kepada orang lain (QS An Najm, 53 : 38 - 39).

Maka inilah yang disebut proses pengabdian selama hidup dalam dunia. Untuk itu diperlukan kemampuan dalam pengendalian waktu semasa hidup, guna mencapai kesempurnaan dalam pengabdian, sesuai dengan keterbatasan masing-masing berdasarkan ketetapan Allah SWT (QS Al Hijr, 15 : 99).

Pembahasan

Bahwa sesungguhnya Hari Pembalasan di hadapan Allah SWT kelak masing-masing pribadi akan dihadapkan saksi-saksi yang ada dalam diri masing-masing, dan dengan izin Allah akan melaporkan seluruh amaliahnya secara sempurna, antara lain yaitu :

1. Diterangkan di dalam Surah Fushilat, 41 : 22, yang artinya sebagai berikut :

”Dan tiadalah keadaan kamu dapat bersembunyi, bahwa akan menyaksikan atas kamu pendengaran, dan penglihatan kamu dan kulit-kulit kamu, tetapi kamu telah mengira bahwa Allah tidak tahu kepada kebanyakan yang kamu kerjakan.”

2. Bahkan, kaum intelektualisme hanya berpatokan dengan kaidah ilmiah, kemudian memperolok-olok kebenaran dari Allah SWT karena kebanggaannya dengan ilmunya (QS Al Mukmin, 40, 83), dan memecah-belah Islam serta membanggakan kelompoknya/sosiosentrisme (QS Al Mukminun, 23 : 53), kemudian merasa benar dalam langkah kerjanya tanpa dasar tuntunan (QS Al Kahfi, 18 : 104).

Dengan demikian maka betapa penting mempersiapkan diri sebelum ajal mendatangi diri.

Mubarki

Gbcm.029008008

DITELANJANGI SYAITHON (KAJIAN AHAD, 09 MARET 2008

Petunjuk Dalil Al Qur-an :

Sebagaimana telah dipahami bahwa mukmin adalah hamba yang menjadi pilihan Allah SWT dalam hidup ini, sebagai hamba yang bermartabat dan terhormat (QS Ali Imran. 3 : 139). Hal itu tiada lain karena mau sadar diri menepati kaidah ibadat kepada Allah SWT dalam seluruh dimensinya, untuk menegakkan dan memelihara sinkronisasi dengan seluruh makhluk semesta alam (QS Ar Rum, 30 : 30). Maka kita wajib waspada dan sadar diri, agar tidak mudah terpengaruh oleh rongrongan syaithon yang menggunakan orang-orang kafir sebagai budak syaithon (QS An Nas, 114 : 1 - 6), melalui metodenya yang spesifik, sebagaimana diterangkan dalam Al Qur-an Surah Al A’raf, 7 : 27, yang terjemahnya sebagai berikut :

“Wahai keturunan Adam! Janganlah syaithon itu dapat menipu kamu, seperti apa yang telah dia keluarkan kedua ibu bapak kamu dari taman, (syaithon itu telah berhasil) melepaskan dari keduanya pakaian keduanya supaya memperlihatkan kepada keduanya akan aurat keduanya; Sesungguhnya ia dan pengikutnya melihat kamu dari arah yang kamu tidak dapat melihatnya; Sesungguhnya Kami jadikan syaithon itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”

Pembahasan :

Kalau diambil dari satu sisi, ayat tersebut menerangkan upaya syaithon untuk menelanjangi manusia, karena sesungguhnya Allah SWT telah mengingatkan secara jelas, bahwa syaithon (abadon, satanda) sebagai musuh(QS Ya-sin, 36 : 60).

Oleh karena itu, siapapun yang dapat dipengaruhi oleh syaithon akan dinyatakan sebagai sahabat kental (QS Az Zuhruf, 43 : 36), dan secara pasti akan diseret untuk menjadi penduduk neraka yang membakar (QS Fathir, 35 : 6).

Rasulullah saw telah memberikan pengertian tentang sifatul anbiya’, bahwa dimaksudkan ”pakaian dari muslim” itu adalah taqwa, yang merupakan tuntutan pokok untuk menjadi muslim (QS Ali Imran, 3 : 102). Maka orang yang telah ditelanjangi oleh ketaqwaannya akan memunculkan perangai antara lain :

1. Dalam Hal Aqidah dan Taqorrub

Akan rusak akibat dari sifat mengada-ada (QS Al An’am, 6 : 93), dan pengaruh taklid buta yang sangat dilarang oleh syara’ (QS Al Isra, 17 : 36), serta mengutamakan tradisi nenek moyang (QS Luqman, 31 : 21). Hal tersebut akan mempengaruhi faktor perilaku yang disebut obscurantis (semangat buta) sebagai bentuk kompensasi dari eklektisisme (mengambil pedoman dari berbagai arah selain Al Qur-an dan Al Hadits Shahih) sebagaimana diterangkan di dalam Al Qur-an Surah Al An’am, 6 : 116.

2. Dalam Hal Akhlak

Akan rusak akibat dari pengaruh peradaban messianik (brutal dan panik serta rusak-rusakan), sehingga menimbulkan berbagai kerusakan dalam tatanan, ekonomi, generasi dan kaum hawa (QS Al Baqarah, 2 : 204 - 206). Hal tersebut akan berakhir dengan kerapuhan dan kehancuran, sebab tidak menepati kaidah tabayyun (QS Al Hujurat, 49 : 6).

3. Dalam Hal Kemajuan dan Teknologi

Kekuatan rasio sangat terbatas dan secara pasti akan menuju kepada batas rasio (QS Ar Rum, 30 : 7), maka syaithon akan menelanjangi sifat intelektual manusia melalui angan-angan tentang Qorun, Haman, dan Fir’aun (QS Al ’Ankabut, 27 : 39), sehingga akan memicu munculnya penindasan manusia atas manusia secara tragis (QS Al Isra : 17 : 16), dan akan pula mengundang kemurkaan alam dengan berbagai kerusakan dan kehancuran (QS Yunus, 10 : 24). Hal tersebut akan berarti menentang ketentuan Allah SWT tentang yang berhak untuk mewarisi bumi ini (QS Al Anbiya’, 21 : 105).

Dengan demikian untuk menjadi pelajaran dan peringatan terhadap hamba Allah SWT yang beriman, agar senantiasa waspada diri dari pengaruh budak-budak syaithon kaum kafirin, yang dengan berbagai metode dan sarana akan senantiasa menelanjangi kemanusiaan dan kehancuran Dinullah, terutama melalui berbagai media massa mereka.

Mubarki

Gbcm.03-III-0429007005

PESAN MORAL SYARI'AT (KAJIAN AHAD, 24 FEBRUARI 2008)

Dasar Pokok Tuntunan

Sebagaimana Allah SWT telah ajarkan melalui Kitab-Nya, yaitu Al Qur-an dan petunjuk pelaksanaan dari Rasul-Nya Muhammad saw, bahwa hamba Allah SWT yang telah menerima cahaya Islam di dalam dirinya diperintah untuk menepati keyakinannya itu secara baik dab benar.

Karena di dalamnya ada muatan berbagai pesan moral syari’at yang sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan secara meliputi. Sebagaimana difirmankan-Nya di dalam Surah An Nahl, 16 : 51 - 62, yang terjemahannya sebagai berikut :

”Dan (ketahuilah) Allah berfirman, ”Janganlah kamu sekalian mengambil dua sesembahan! Adapun sebenarnya Dia itu sebagai sesembahan Yang Esa, maka hanya kepada-Kulah maka kamu sekalian harus takut;

”Dan kepunyaan-Nya adalah segala apa yang di langit-langit dan di bumi ini, dan hanya kepada-Nyalah ketaatan menepati perintah Ad Din itu secara tetap selamanya. Maka apakah kepada selain Allah kamu bertakwa?”

Pembahasan

Pada dasarnya ayat tersebut memberikan batasan yang sangat jelas, bahwa aturan Allah SWT adalah mutlak, yaitu dalam menepati perjalanan hidup di dunia ini hanya diperintahkan untuk menjadikan Kalamullah atau Kalamul Haq, yaitu Al Qur-an sebagai hukum mutlak (QS Al An’am, 6 : 153), kemudian keberadaan Rasulullah saw adalah sebagai titik pandang atau sorotan utama bagi para muttabi’ (QS Ali Imran, 3 : 31).

Dengan demikian maka memadukan atau mengawinkan Hukum Allah dengan aturan buatan manusia, adalah dihukumkan musyrik, yang berarti tindakan menyekutukan kepada Allah. Hal tersebut adalah disebabkan antara lain :

1. Menepati atauran Dinullah akan berarti menjalani fitrah dan menepati fungsinya sebagai hamba Allah SWT, sehingga perjalanan hidupnya tidak akan berbenturan dengan fitrah semesta alam (QS Ar Rum, 30 : 30).

2. Semesta alam di kala proses kejadiannya, telah menyatakan janji setia kepada Allah SWT yang telah menciptakannya (QS Fushilat, 41 : 11 - 12).

3. Seluruh tindakan berinteraksi dari makhluk secara keseluruhan, adalah dalam rangka menepati ketentuan-Nya, sehingga mereka pun diistilahkan dalam Al Qur-an bertasbih dan shalat (QS An Nur, 24 : 41), serta bersujud (QS Al Hajj, 22 : 18).

Ketentuan-ketentuan tersebut adalah wajib keberlakuannya, sehingga manusia diharuskan menepati kewajiban secara baik dan benar. Sebaliknya bagi manusia yang tidak mau menepati kewajibannya, maka masing-masing akan dapat merasakan dampaknya.

Hakikat hidup dalam dunia ini adalah menepati kewajiban pengabdian (QS Adz Dzariyat, 51 : 56) dan memperoleh janji (QS Al Kahfi, 18 : 30 - 31), karena kehidupan yang sesungguhnya adalah di Akhirat kelak! Maka inilah yang disebut dengan Pesan Moral Syari’at.

Gambaran Pesan Moral Syari’at

Allah SWT telah memberikan batasan tegas bagi perjalanan hidup manusia dalam dunia ini, agar tidak terjadi dampak negatif bagi kemanusiaan, antara lain difirmankan-Nya dalam Surah Al Baqarah, 2 : 42, yang terjemahnya sebagai berikut :

”Dan janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan dan kamu menyembunyikan kebenaran sedang kamu mengetahui.”

Rsulullah saw menjelaskan, bahwa terjadi pencampuradukkan antara hukum Islam dengan aturan buatan manusia, sehingga memilih-milih hukum Islam untuk dimasukkan atau dicampurkannya, maka sudah pasti akan memunculkan berbagai akibat negatif dalam kehidupan masyarakat, seperti terjadi berbagai perpecahan dan kerusakan.

Hal tersebut sangat beralasan, karena Al hadits yang menjadi sandarannya adalah berderajat Shahih Riwayat Ibnu Majah dan juga Riwayat Abu Nu’aim, melalui jalan ’Abdullah bin ’Umar ibnu Al Khattab.

Maka betapa pentingnya bila kesadaran untuk menepati perintah dan tuntunan Islam itu, terutama dalam hal keumatan, benar-benar berdasarkan dalil yang jelas dari Al Qur-an dan Al Haditsnya. Karena Al Haq itu sangat sarat bermuatan moral syari’at bagi pembangunan umat manusia sedunia

Mubarki

Gbcm.02-II-042900804