Kamis, 31 Juli 2008

CARA MEMAHAMI SUMBER HUKUM (KAJIAN AHAD, 27 JULI 2008)

Petunjuk Dalil Al Qur-an :

Dalam menaati petunjuk Hukum Islam, Allah SWT telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mengajarkan rasa tanggung jawab diri dalam menepatinya, sebagaimana difirmankan-Nya di dalam surah An Nur, 24 : 54, yang artinya sebagai berikut :

“Katakanlah (hai Muhammad), “Taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul.” Maka jika kamu berpaling, maka adapun sebenarnya atas (Rasul) itu (berdasarkan) apa yang dibebankan, dan atas kamu (berdasarkan) apa yang dibebankan kepadamu, dan jika kamu menaatinya (berarti) kamu mendapat petunjuk. Dan tiadalah atas Rasul itu melainkan (hanyalah) penyampai yang terang."

Maksud ayat tersebut di atas antara lain :

1. Dalam menaati Allah, maka petunjuk-Nya ada di dalam Al Qur-an sebagai “rutbah pertama dan utama” (QS Az Zumar, 39 : 23), karena Al Qur-an adalah jalan mutlak (QS Al An’am, 6 : 135);

2. Dalam menaati Rasul, maka petunjuknya ada di dalam Al Hadits sebagai ”rutbah kedua”, yang berarti :

a. Kehendak Hadits yang dasarnya tersurat di dalam Al Qur-an, maka dihukumkan Mutlak;

b. Kehendak Hadits yang dasarnya tidak tersurat di dalam Al Qur-an, maka dihukumkan Nadab.

Pembahasan :

Dalam keterkaitan Al Qur-an sebagai rutbah pertama dan utama, adalah berdasarkan petunjuk Allah SWT di dalam surah Al An’am, 6 : 38, yaitu :

“ma- farrothna- fi kita-bi min syai-in.”

Artinya : “Tiadalah Kami luputkan di dalam Kitab (Al Qur-an) ini dari hal sesuatupun.”

Keterkaitan dengan masalah tasbih dan shalat (QS An Nur, 24 : 41), dan bersujud (QS Al Hajj, 22 : 18), bagi seluruh makhluk. Maka untuk hal tersebut, antara lain :

1. A’isyah isteri Rasulullah saw telah berkata, ”Man qoro Al Qur-an, falaisa fauqohu ahadan.”

Artinya : ”Barangsiapa membaca Al Qur-an, maka tiada mungkin teratasi oleh siapapun.”

2. ’Abdullah bin ’Umar telah berkata, ”Man hamalal Qur-an faqod hamala amron ’adhi-man, waqod udrijatin nubuwwatu baina janbaihi illa annahu la yu-ha ilaihi.”

Artinya : ”Barangsiapa mengumpulkan Al Qur-an, maka sungguh ia mengumpulkan perkara yang agung, dan sungguh di masukkan kenabian di antara lambungnya, kecuali bahwasanya tidak diberi wahyu kepadanya.”

Pernyataan tersebut beralasan dengan petunjuk Al Qur-an, bahwa Al Qur-an itu telah dicerai-beraikan Allah dengan cerai-berai yang sebenarnya (QS Al Furqon, 25 : 32). Dalam keterkaitannya Al Hadits sebagai rutbah kedua, karena kedudukan Rasulullah adalah sebagai ”Penyampai segala apa yang Allah turunkan kepadanya”. (QS Al Maidah, 5 : 67), dan sebagai ”Panutan” (QS Al Ahzab, 33 : 21) yang harus ditaati (QS An Nisa’, 4 : 64).

Dengan demikianan berarti kedudukan Rasulullah adalah menjelaskan dan menerangkan kehendak Al Qur-an.

Menanggapi hal tersebut maka Ibnu Hizam menyatakan, bahwa memahami Hukum Fiqh itu wajib dipelajari tentang asalnya, yaitu dari Al Qur-an dan As Sunnah yang menyatakannya. Apabila ketentuan tersebut tidak dipatuhi, maka berakibat sesorang menjadi bertaklid buta atau bahkan menjadi tukang mengada-ada. Maka hukumnya adalah ”Haram” (QS Al An’am, 6 : 93).

Oleh karena itu, selain ayat yang mujmal, maka segala syarat maupun petunjuknya telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur-an itu sendiri. Dan Rasul saw hanya sebatas menerangkannya atau menjelaskannya, dan tidak pernah mengada-ada.

Mubarki

Gbcm. 0908018